Nasional, Jakarta - Pada tanggal ini,  21 Juni, tahun 1994, pemerintahan Presiden Soeharto membredel majalah Tempo, majalah Editor dan tabloid Detik. Peristiwa ini menjadi bagian dari sejarah kelam pers Indonesia.

Ketua Sidang Redaksi Editor, Marah Sakti Siregar menceritakan  kembali proses penutupan majalah tersebut kepada Tempo, 21 Juni 2017.

Baca juga: Peringatan 23 Tahun Pembredelan Tempo, `Awal Kegagalan Demokrasi`

Pada Selasa pagi, 21 Juni 1994, Marah ditelpon untuk datang ke kantor Departemen Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Pukul 12.00 WIB dia sudah berada di ruang tamu Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, Subrata. Saat itu hadir juga Pemimpin Umum Tempo Hardjoko Trisnadi.

Marah Sakti kemudian dipanggil terlebih dulu. Subrata yang memakai baju putih  lengan panjang dan berdasi rapi didampingi Direktur Pengawasan Pemberitaan.

Subrata memberikan amplop putih berstempel Garuda Pancasila. Isinya keputusan pemerintah membatalkan  Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Editor karena pertimbangan  "administratif".

Maksudnya, nama pemimpin redaksi Editor tidak sesuai dengan nama yang tertera di dalam SIUPP.   Pertimbangan “administratif” ini juga yang menjadi dasar penutupan tabloid Detik.

Subrata menjelaskan pemerintah kecewa dan marah pada media pers nasional.  "You sendiri kan sudah sering saya panggil dan peringatkan,”  kata bawahan Menteri Penerangan Harmoko itu. 

"Ya, Pak,”  jawab Marah Sakti.

Waktu itu, Marah Sakti paham sehingga tidak mengajukan protes.  Dia ingin mengambil hati dan empati Subrata karena hari itu majalah Editor siap naik cetak.

Marah menjelaskan Editor ingin terbit dan pamit dengan pembaca secara baik-baik.

“Soalnya naskah sudah selesai, Pak Brata.  Sudah ada di percetakan. Kami mohon pamit saja kepada pembaca. Supaya elegan," kata Marah membujuk Subrata.

"Tidak bisa, Bung. Terhitung hari ini. Ketika Anda sudah menerima SK Pembatalan SIUPP ini, Anda dilarang menerbitkan Editor," jawab Subrata.

“Kalau Anda lakukan, Anda melanggar undang-undang dan akan dibawa ke pengadilan," katanya lagi, mengancam.

Putus sudah harapan Marah Sakti.  Dia tidak lagi mendengar petuah dari Subrata dan langsung ke luar ruangan.

Dia mendapat penjelaskan kalau kesalahan majalah Tempo adalah atas pertimbangan “substantif.”   Isi pemberitaannya dinilai memprovokasi dan mengadu domba unsur pemerintah, pejabat sipil dengan ABRI.

Laporan utama Tempo yang terbit 7 Juni 1994 memang mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seharga USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar.

Sepekan sebelumnya,  Tempo mengungkapkan pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat. Pembelian kapal bekas ini melibatkan Menteri Riset dan Teknologi B.J Habibie.

Marah Sakti menjelaskan pada Mei 1994, dia juga mendapat dokumen tentang pembelian kapal tersebut.  Dokumen itu disebut-sebut berasal dari tim ahli peralatan ABRI.

Dokumen itu menganalisis bahwa pembelian kapal bekas Jerman itu adalah pemborosan dan akan merugikan uang negara.

Marah Sakti mengkonfirmasi dokumen tersebut ke Menteri Keuangan Mari’e Muhammad. Mari’e  terkejut bahwa dokumen itu sudah beredar di kalangan wartawan.

Mari’e  menyarankan Marah Sakti untuk tidak menuliskan dokumen tersebut karena Presiden Soeharto sudah membaca isinya dan marah besar.

“’Bapaknya’ tidak suka dengan analisa tersebut.  Jika you muat ‘Bapaknya’ marah, habis you," kata Mari’e Muhammad.

Simak juga:
Di Balik Pemberedelan Tempo
Mengenang Marie Muhammad dan Pembredelan Tempo

Marah Sakti kemudian berdiskusi dengan Pemimpin Umum Editor, Eddy Herwanto.  Keduanya sepakat tidak menuliskan isi dokumen itu dalam majalah Editor terbaru.

Namun pemerintah tetap membredel Editor bersama Tempo dan Detik. Majalah Editor memang kritis memberitakan isu soal politik, ekonomi, keluarga Soeharto dan Timor Timur.

UNTUNG WIDYANTO